Abstract
Sejak berakhirnya rezim Orde Baru Suharto dan peralihan Indonesia menjadi negara demokrasi pada 1998, negara Indonesia telah berjuang untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran berat hak-hak asasi manusia pada masa lalu, khususnya kekerasan anti-komunis pada tahun 1965-66. Sekitar setengah juta anggota dan simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia) dan ormasnya dibunuh dan ratusan ribu orang ditahan, hampir semuanya dilakukan tanpa melalui proses peradilan. Meskipun orang-orang ini nampaknya memiliki alasan yang sangat jelas untuk memperoleh status sebagai korban, mereka masih sulit mendapat pengakuan tersebut, karena perlawanan dari tentara dan perwakilan organisasi warga sipil yang terlibat dalam kekerasan. Artikel ini membahas ciri kontestasi atas status korban, dan khususnya cara untuk mengakomodasi tuntutan-tuntutan dari mereka yang tidak berada di titik pusat dalam pengalaman persekusi politis namun ikut menanggung derita akibat strategi-strategi anti-komunis yang dijalankan pemerintah dan militer. Berangkat dari literatur ilmiah tentang korban, status korban dan memori kolektif, saya menganalisa sebuah studi kasus atas sekelompok warga desa di Blitar selatan, Jawa Timur dan bagaimana keterlibatan mereka dalam pemberian dukungan kepada buron kiri di daerah itu pada tahun 1966-68, telah mempengaruhi cara mereka dipandang oleh masyarakat. Representasi kelompok penduduk desa ini oleh militer dan pemerintah telah menghasilkan munculnya korban kolektif lintas generasi, tetapi status korban mereka masih dibatasi oleh hierarki korban dan kesulitan-kesulitan dalam mengidentifikasi mereka sebagai korban. Sebagai hasil dari faktor-faktor ini, kelompok korban yang rumit ini telah terkucilkan dari proses keadilan transisional arus utama, kecuali atas usaha yang terbatas oleh dua LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) di tingkat daerah, yang dibahas dalam artikel ini. Kebangkitan anti-komunisme semenjak terpilihnya Presiden Joko Widodo, bagaimanapun, menciptakan kesulitan baru bagi para korban dan dua LSM ini.
Translated title of the contribution | The struggle for status as a victim in anti-communist violence and its implications for justice for the victims of the South Blitar Trisula Operation in East Java in 1968 |
---|---|
Original language | Indonesian |
Title of host publication | 1965 Pada Masa Kini |
Subtitle of host publication | Hidup dengan Warisan Peristiwa Pembantaian Massal |
Editors | Martijn Eijkhoff, Gerry van Klinken , Geoffrey Robinson |
Place of Publication | Yogyakarta |
Publisher | Sanata Dharma University Press |
Pages | 101-130 |
Number of pages | 30 |
ISBN (Print) | 978-623-7379-22-5 |
Publication status | Published - 2019 |